Ada sebuah cerita tentang seorang wanita yang mengeluhkan pasangannya, dan merasa mulai bosan menjalani sebuah perkawinan. Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul di perasaan saya, ketika saya bersandar di bahunya yang bidang. Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, harus saya akui, bahwa saya mulai merasa lelah.
Alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan. Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.
Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian. "Mengapa?" tanya suami saya dengan terkejut "Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan" jawab saya. Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya?.
Akhirnya suami saya bertanya, "Apa yang dapat saya lakukan untuk mengubah pikiran kamu?". Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya akan mengubah pikiran saya. Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya?".
Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok.". Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan coret-coretan tangannya di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan..., "Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya.".
Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya. Saya melanjutkan untuk membacanya. "Kamu selalu pusing-pusing pada waktu 'teman baik kamu' datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk membelai dan memijat kepalamu yang pusing.". "Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu khawatir kamu akan menjadi 'aneh'.
Saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidah saya untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami.". "Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu. Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat mencabuti uban kamu.". "Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasirnya yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu.". "Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir menangisi kematian saya.".
"Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih daripada saya mencintai kamu. Untuk itu Sayang, jika semua yang telah diberikan tangan saya, kaki saya, mata saya tidak cukup buat kamu, saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu.". Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya.
"Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkan saya untuk hidup bersamamu, bukakan pintu rumah kita, karena saya sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawaban kamu.". "Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini, Sayang, biarkan saya masuk untuk mengemasi barang-barang saya, dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu. Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia.".
Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang segelas susu dan roti kesukaan saya. Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih daripada dia mencintai saya. Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.
Dalam konteks agama, istri adalah ladang amal bagi suami, pun suami merupakan hamparan samudra tak bertepi bagi bhakti seorang istri. Untuk saling memberi, menyayangi dan berusaha memahami. Allah-lah yang menganugerahkan rasa cinta kepada keduanya, agar saling berkasih sayang dan merasa tenteram dalam hidupnya. Tidak mencari-cari sesuatu yang haram, tetapi Dia yang menjadikan halal sesuatu yang semula diharamkan.
Dalam Al Qur'an, Allah SWT telah berfirman, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (QS. Ar Ruum, 30:21).
Pun keduanya saling membutuhkan dan menutupi, Adam tidak bisa hidup dan mengembangbiakkan keturunannya tanpa Siti Hawa, pun demikian sebaliknya. "mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (QS. Al Baqarah, 2:187). Sehingga bila ada salah satu pihak dari pasangan itu meminta untuk memutuskan tali ikatan kasih sayang tanpa alasan yang bisa diterima, sungguh hal itu merupakan sebuah tanda tanya. Apakah ia memahami hakekat sebuah pernikahan?. Apakah ia hanya ingin dipenuhi keinginannya tanpa berusaha memahami pasangan kita?. Salah satu tujuan pernikahan adalah meneruskan keturunan, yang dengannya manusia diminta untuk memakmurkan alam, dengan munculnya anak-anak yang terlahir, buah dari kasih sayang itu.
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (QS. An Nisaa', 4:1).
Fitrah manusia adalah menikah, yaitu memiliki pasangan hidup. Bahkan Allah tidak pernah mewajibkan orang-orang menjadi Rahbaniyyah (tidak menikah), sebagaimana yang dianut oleh sebagian pemeluk keyakinan lain. "Kemudian Kami iringkan di belakang mereka rasul-rasul Kami dan Kami iringkan (pula) Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridaan Allah," (QS. Al Hadiid, 57:27).
Bersyukur seseorang telah diberikan teman hidup. Lalu jika Allah telah menganugerahkannya, kemudian hanya karena alasan sempit, seseorang ingin memutuskan ikatan itu. Padahal disitulah letak ujian atau cobaan yang harus dihadapi. Karena ketetapan-Nya selalu menghadirkan sesuatu serba berpasangan, ada siang - malam, pria - wanita, nikmat – ujian/cobaan.
Bila istri atau suami menjadi sarana cobaan, boleh jadi karena karena kita sedang diuji, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. At Taghaabun, 64:14).
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang senantiasa mensyukuri nikmat-Nya, dan gangguan yang datang dari pasangan kita tidak lantas membuat kita menjadi lebih mencintai dan menuruti segala kemauannya dengan mengorbankan kecintaan kita kepada Allah, Insya Allah. (fam)
Penulis: Farabi Al Mishri
*) Pesan ini pernah diangkat pada PHI edisi Jum'at, 22/2/08, dan atas permintaan jamaah, maka sengaja diangkat kembali untuk mengingatkan pasangannya. (red.)
Pasangan
Posted in
Label:
religi
7/19/2010 11:08:00 AM
Ada sebuah cerita tentang seorang wanita yang mengeluhkan pasangannya, dan merasa mulai bosan menjalani sebuah perkawinan. Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul di perasaan saya, ketika saya bersandar di bahunya yang bidang. Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, harus saya akui, bahwa saya mulai merasa lelah.
Alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan. Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.
Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian. "Mengapa?" tanya suami saya dengan terkejut "Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan" jawab saya. Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya?.
Akhirnya suami saya bertanya, "Apa yang dapat saya lakukan untuk mengubah pikiran kamu?". Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya akan mengubah pikiran saya. Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya?".
Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok.". Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan coret-coretan tangannya di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan..., "Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya.".
Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya. Saya melanjutkan untuk membacanya. "Kamu selalu pusing-pusing pada waktu 'teman baik kamu' datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk membelai dan memijat kepalamu yang pusing.". "Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu khawatir kamu akan menjadi 'aneh'.
Saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidah saya untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami.". "Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu. Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat mencabuti uban kamu.". "Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasirnya yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu.". "Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir menangisi kematian saya.".
"Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih daripada saya mencintai kamu. Untuk itu Sayang, jika semua yang telah diberikan tangan saya, kaki saya, mata saya tidak cukup buat kamu, saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu.". Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya.
"Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkan saya untuk hidup bersamamu, bukakan pintu rumah kita, karena saya sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawaban kamu.". "Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini, Sayang, biarkan saya masuk untuk mengemasi barang-barang saya, dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu. Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia.".
Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang segelas susu dan roti kesukaan saya. Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih daripada dia mencintai saya. Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.
Dalam konteks agama, istri adalah ladang amal bagi suami, pun suami merupakan hamparan samudra tak bertepi bagi bhakti seorang istri. Untuk saling memberi, menyayangi dan berusaha memahami. Allah-lah yang menganugerahkan rasa cinta kepada keduanya, agar saling berkasih sayang dan merasa tenteram dalam hidupnya. Tidak mencari-cari sesuatu yang haram, tetapi Dia yang menjadikan halal sesuatu yang semula diharamkan.
Dalam Al Qur'an, Allah SWT telah berfirman, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (QS. Ar Ruum, 30:21).
Pun keduanya saling membutuhkan dan menutupi, Adam tidak bisa hidup dan mengembangbiakkan keturunannya tanpa Siti Hawa, pun demikian sebaliknya. "mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (QS. Al Baqarah, 2:187). Sehingga bila ada salah satu pihak dari pasangan itu meminta untuk memutuskan tali ikatan kasih sayang tanpa alasan yang bisa diterima, sungguh hal itu merupakan sebuah tanda tanya. Apakah ia memahami hakekat sebuah pernikahan?. Apakah ia hanya ingin dipenuhi keinginannya tanpa berusaha memahami pasangan kita?. Salah satu tujuan pernikahan adalah meneruskan keturunan, yang dengannya manusia diminta untuk memakmurkan alam, dengan munculnya anak-anak yang terlahir, buah dari kasih sayang itu.
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (QS. An Nisaa', 4:1).
Fitrah manusia adalah menikah, yaitu memiliki pasangan hidup. Bahkan Allah tidak pernah mewajibkan orang-orang menjadi Rahbaniyyah (tidak menikah), sebagaimana yang dianut oleh sebagian pemeluk keyakinan lain. "Kemudian Kami iringkan di belakang mereka rasul-rasul Kami dan Kami iringkan (pula) Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridaan Allah," (QS. Al Hadiid, 57:27).
Bersyukur seseorang telah diberikan teman hidup. Lalu jika Allah telah menganugerahkannya, kemudian hanya karena alasan sempit, seseorang ingin memutuskan ikatan itu. Padahal disitulah letak ujian atau cobaan yang harus dihadapi. Karena ketetapan-Nya selalu menghadirkan sesuatu serba berpasangan, ada siang - malam, pria - wanita, nikmat – ujian/cobaan.
Bila istri atau suami menjadi sarana cobaan, boleh jadi karena karena kita sedang diuji, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. At Taghaabun, 64:14).
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang senantiasa mensyukuri nikmat-Nya, dan gangguan yang datang dari pasangan kita tidak lantas membuat kita menjadi lebih mencintai dan menuruti segala kemauannya dengan mengorbankan kecintaan kita kepada Allah, Insya Allah. (fam)
Penulis: Farabi Al Mishri
*) Pesan ini pernah diangkat pada PHI edisi Jum'at, 22/2/08, dan atas permintaan jamaah, maka sengaja diangkat kembali untuk mengingatkan pasangannya. (red.)
Alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan. Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.
Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian. "Mengapa?" tanya suami saya dengan terkejut "Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan" jawab saya. Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya?.
Akhirnya suami saya bertanya, "Apa yang dapat saya lakukan untuk mengubah pikiran kamu?". Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya akan mengubah pikiran saya. Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya?".
Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok.". Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan coret-coretan tangannya di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan..., "Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya.".
Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya. Saya melanjutkan untuk membacanya. "Kamu selalu pusing-pusing pada waktu 'teman baik kamu' datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk membelai dan memijat kepalamu yang pusing.". "Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu khawatir kamu akan menjadi 'aneh'.
Saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidah saya untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami.". "Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu. Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat mencabuti uban kamu.". "Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasirnya yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu.". "Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir menangisi kematian saya.".
"Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih daripada saya mencintai kamu. Untuk itu Sayang, jika semua yang telah diberikan tangan saya, kaki saya, mata saya tidak cukup buat kamu, saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu.". Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya.
"Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkan saya untuk hidup bersamamu, bukakan pintu rumah kita, karena saya sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawaban kamu.". "Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini, Sayang, biarkan saya masuk untuk mengemasi barang-barang saya, dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu. Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia.".
Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang segelas susu dan roti kesukaan saya. Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih daripada dia mencintai saya. Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.
Dalam konteks agama, istri adalah ladang amal bagi suami, pun suami merupakan hamparan samudra tak bertepi bagi bhakti seorang istri. Untuk saling memberi, menyayangi dan berusaha memahami. Allah-lah yang menganugerahkan rasa cinta kepada keduanya, agar saling berkasih sayang dan merasa tenteram dalam hidupnya. Tidak mencari-cari sesuatu yang haram, tetapi Dia yang menjadikan halal sesuatu yang semula diharamkan.
Dalam Al Qur'an, Allah SWT telah berfirman, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (QS. Ar Ruum, 30:21).
Pun keduanya saling membutuhkan dan menutupi, Adam tidak bisa hidup dan mengembangbiakkan keturunannya tanpa Siti Hawa, pun demikian sebaliknya. "mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (QS. Al Baqarah, 2:187). Sehingga bila ada salah satu pihak dari pasangan itu meminta untuk memutuskan tali ikatan kasih sayang tanpa alasan yang bisa diterima, sungguh hal itu merupakan sebuah tanda tanya. Apakah ia memahami hakekat sebuah pernikahan?. Apakah ia hanya ingin dipenuhi keinginannya tanpa berusaha memahami pasangan kita?. Salah satu tujuan pernikahan adalah meneruskan keturunan, yang dengannya manusia diminta untuk memakmurkan alam, dengan munculnya anak-anak yang terlahir, buah dari kasih sayang itu.
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (QS. An Nisaa', 4:1).
Fitrah manusia adalah menikah, yaitu memiliki pasangan hidup. Bahkan Allah tidak pernah mewajibkan orang-orang menjadi Rahbaniyyah (tidak menikah), sebagaimana yang dianut oleh sebagian pemeluk keyakinan lain. "Kemudian Kami iringkan di belakang mereka rasul-rasul Kami dan Kami iringkan (pula) Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridaan Allah," (QS. Al Hadiid, 57:27).
Bersyukur seseorang telah diberikan teman hidup. Lalu jika Allah telah menganugerahkannya, kemudian hanya karena alasan sempit, seseorang ingin memutuskan ikatan itu. Padahal disitulah letak ujian atau cobaan yang harus dihadapi. Karena ketetapan-Nya selalu menghadirkan sesuatu serba berpasangan, ada siang - malam, pria - wanita, nikmat – ujian/cobaan.
Bila istri atau suami menjadi sarana cobaan, boleh jadi karena karena kita sedang diuji, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. At Taghaabun, 64:14).
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang senantiasa mensyukuri nikmat-Nya, dan gangguan yang datang dari pasangan kita tidak lantas membuat kita menjadi lebih mencintai dan menuruti segala kemauannya dengan mengorbankan kecintaan kita kepada Allah, Insya Allah. (fam)
Penulis: Farabi Al Mishri
*) Pesan ini pernah diangkat pada PHI edisi Jum'at, 22/2/08, dan atas permintaan jamaah, maka sengaja diangkat kembali untuk mengingatkan pasangannya. (red.)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment